MAKALAH
Dimensi
Kajian Filsafat Ilmu
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Di susun oleh :
1. Devi Nopitasari 13187205021
2. Iva Fitrotul Ngazizah 13187205022
3. Novi Yulia Puspitasari 13187205028
4. Siti Komariyah 13187205037
5. Crisda Emiliyanti 13187205040
DOSEN PENGAMPU
INDRI HADISISWATI, S.H.,M.Hum.
STKIP PGRI TULUNGAGUNG
JL. MAYOR SUJADI TIMUR NO.07
TULUNGAGUNG
2015
KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu.
Dalam
penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala
yang penulis hadapi teratasi.
Makalah
ini kami susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Dimensi Kajian
Filsafat Ilmu. Makalah ini kami susun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa STKIP PGRI TULUNGAGUNG. Kami
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen pembimbing saya meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah
kami di masa yang akan datang dan mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca.
Tulungagung,
Oktober 2015
Penyusun
KATA
PENGANTAR ……………………………………………………………………. ii
DAFTAR
ISI ……………………………………………………………………………... iii
1.3. Tujuan ……………………………………………………………………….…….. 1
3.2 Saran ……………………………………………………………………….…………. 11
PENDAHULUAN
Filsafat kerap kali dipandang
sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat sekali dengan
kehidupan manusia. Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang
kurang diminati, karena dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit dan
membutuhkan pemikiran yang lebih. Namun keraguan, keengganan, dan
kecemasan ini biasanya pelan-pelan memudar ketika sudah mulai menekuni bidang
ini dan bahkan akan lebih terasa menarik ketika sadar bahwa filsafat adalah
bagian yang terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dalam makalah ini, akan ada beberapa
hal yang dibahas mengenai DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU yang mencakup Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologis. Didalamnya terdapat Objek Kajian, Aliran, serta
Teologi dalam Ontologis, lalu Pengertian, Persyaratan, serta Aliran-Aliran
dalam Epistimologi, dan yang terakhir ada Pengertian, serta Objek kajian
Aksiologis.
1. Apakah yang dimaksud dengan
Ontologis?
2. Apakah yang dimaksud dengan
Epistimologis?
3. Apakah yang dimaksud dengan
Aksiologis?
1. Memahami Ontologis serta yang
termasuk didalamnya
2. Memahami pengertian, dan persyaratan
Aksiologis
3. Memahami pengertian, dan objek kajian
Aksiologis
PEMBAHASAN
Ontologi merupakan cabang teori
hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal
dari bahasa yunani, yaitu ta onta yang berarti ‘yang berada’,
dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan
demikian Ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.
(Dr. A. Susanto, M.Pd. 2011)
Term ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636. Ontology tersebut
diperkenalkan untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembangannya metafisika terbagi menjadi dua, yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai
istilah lain dari ontology. (Christian Wolff, 1679-1757)
Dengan demikian, metafisika umum
atau ontology merupakan cabang dari disiplin ilmu filsafat yang mempelajari
prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan
metafisika khusus masih terbagi kedalam kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi merupakan cabang ilmu yang secara khusus membahas tentang alam
semesta. Psikologi merupakan cabang ilmu filsafat yang secara khusus membahas
tentang gejala-gejala jiwa manusia. Sedangkan teologi merupakan cabang
ilmu filsafat yang membahas tentang Tuhan.
Ontology keilmuan juga merupakan
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran
metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologism
sebagaimana adanya (das sein)dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas
dari nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian atau penelitian berdasarkan
epistimologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut maka
langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi
deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einsten dalam
Zainuddin (2006: 27) bahwa : “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan
fakta pula, apa pun teori yang disusunnya”.
Memaksakan nilai-nilai moral secara
dogmatic ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut kebelakang (set
back) ke zaman pra-copernicus dan kemungkinan mengundang
berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642) pada zaman modern.
Objek kajian telaah ontology adalah
semua yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas,
ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah
kematian maupun sumber segala yang ada, yaitu Tuhan yang maha esa, pencipta dan
pengatur serta penentu alam semesta.
Objek formal ontology adalah seluruh
realitas. Bagi pendekatan kualitatif, kualitas tampil dalam kuantitas atau
jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monism, paralelisme, atau pluralism. Bagi
pendekatan kualitatif realitas akan tampil menjadi aliran materialism,
idea-lisme, naturalism, atau hilomorphisme.
A. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga
tingkat abstraksi dalam ontology, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu
objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontology
adalah abstraksi metafisik. Metode pembuktian dalam ontology oleh Lorens Bagus
dibedakan menjadi dua, yaitu: pembuktian apriori dan
pembuktian a posteriori.
B. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat
yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’(beyond nature),
yang berada diluar pengalaman manusia (immediate experience). Metafisika
mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa yang berlaku pada
umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang
berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia.(Asmoro Achmadi, 2005:
14)
Singkatnya, metafisika adalah cabang
ilmu filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada dibelakang gejala-gejala
yang nyata. Jika ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika juga
ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan
hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang
dapat diserap oleh pancaindra.
Manusia berpendapat bahwa di alam
ini terdapat wujud-wujud supranatural (bersifat gaib) yang mana
wujud-wujud tersebut lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam
nyata. Animism (roh-roh bersifat gaib yang terdapat pada benda, seperti batu,
pohon) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme.
Lalu ada paham naturalisme yang menolak secara keras paham supranaturalisme,
paham naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh
pengaruh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu
sendiri.
C. Asumsi
Asumsi merupakan pendapat yang telah
didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional.
Yang berkenaan dengan konsep-konsep, dan pengandaian-pengandaian. Dengan
demikian, filsafat ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual
dan bahasa yang digunakannya, dan juga dengan perluasan serta penyusunan yang
lebih ajeg dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.
Di dalam pemahaman atau pemikiran
ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti:
Monoisme, dualisme, pluralisme, dan agnitisisme. Berikut ini akan dijelaskan
tentang pokok-pokok pemikiran tersebut.
A. Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa
hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin
dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa
materi maupun berupa ruhani. Tetapi aliran monoisme pun terbagi menjadi dua,
yaitu:
1. Aliran Materialisme
(Naturalisme)
Aliran ini menganggap bahwa sumber
yang asal itu materi, bukan rohani. Menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan
satu-satunya cara tertentu.
2. Aliran Idealisme
(Supranaturalisme)
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
raga mini berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati
ruang. Materi atau zat itu hanyalah salah satu bentuk dari penjelmaan ruhani
B. Aliran Dualisme
Aliran dualism adalah aliran yang
mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan
idealisme. Menurut aliran dualisme materi atau ruh sama-sama merupakan hakikat.
Materi muncul bukan karna adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karna materi.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah
dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut.
Aliran dualisme memandang bahwa alam
terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan
paham aliran yang serba dua, yaitu antara materi dan bentuk. Menurut paham
dualisme, didalam dunia ini selalu dihadapkan kepada dua pengertian, yaitu
‘yang ada sebagai potensi’ dan ‘yang ada sebagai terwujud’. Keduanya adalah
sebutan yang melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidios).
C. Aliran
Pluralisme
Paham pluralisme berpandangan bahwa
segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan
dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu nyata adanya. Pluralisme sebagai paham
yang menyatakan bahwa kenyataan ala mini tersusun dari banyak unsur, lebih dari
satu atau dua entitas.
D. Aliran Nikhilisme
Selanjutnya pada aliran
nikhilisme menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas
manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternative positif. Dalam
pandangan nikhilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan
berkreativitas.
E. Aliran Agnotisisme
Sedangkan aliran agnotisisme
menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik
kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan
sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangat terbatas dan
tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indranya maupun oleh
pikirannya. Paham agnotisisme mengingkari kemampuan manusia untuk mengetahui
hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.
Teologi juga merupakan bagian dari
kajian bidang ontologi. Dalam kamus teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam
bahasa Yunani artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha meyodis untuk
memahani dan menafsirkan kebenaran wahyu (gerald O’Collins dan Edward G., 2001;
314). Dalam bahasa latin teologi dairtikan ‘ilmu yang mencari pemahaman’,
maksudnya dengan menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan
filsafat, teologi selalu mencari dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir
dan pemahaman yang selesai.
Sedangkan yang dimaksud dengan
teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika, adalah filsafat ketuhanan yang
bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam. (Sudarsono, 2001 : 129).
Pembahasan filsafat ini mengkaji keteraturan hubungan antara benda-benda alam
sehingga orang meyakini adanya pencipta alam atau pengatur alam tersebut.
Teologi dalam kajian filsafat
metafisika memliki arti penting dalam pemikiran kefilsafatan. Pemikiran
tersebut muncul sejak dari para filosof Yunani, kemudian dilanjutkan oleh kaum
Sophi dan masa Sokrates, juga filsafat pada abad pertengahan, terutama dengan
hadirnya filosof kristen, hingga perkembangan filsafat dewasa ini.
Epistemologi sering juga disebut
teoi pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
epistemologi bersal dari bahasa Yunani episteme, yang artinya
pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi,
epistemologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula
atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005 :
157) epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan tentang
masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan. Epistemologi memfokuskan
pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria
pengetahuan, jenis pengetahuan, dan sebagainya.
Epistemologi meliputi sumber,
sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan
ilmiah. Perbedaaan mengenai pilihan landasan ontologi akan sendirinya
mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal,
budi, pengalaman, atau kombinasi antara akal budi dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan
adanya model-model epistemologis seperti rasionalisme, empirisme,
kritisisme, atau rasionalis kritis, postitivisme, fenomenologis, dengan
berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalu akal,
indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya
adalah sebagai berikut.
A. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu objek yang menyampaikan
pernyataan-pernyataan hasil obeservasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan
yang lebih umum.
B. Metode Deduktif
Deduksi ialah metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
C. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857).
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang
positif.
D. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal
manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang akan dihasilkan pun
akan berbeda-beda. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi ini dapat
diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
E. Metode Dialektis
Dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga nalisis sistematis tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Ilmu harus memiliki dasar
pembenaran, bersifat sistematis dan sistemik serta bersifat intersubjektif.
Ketiga ciri tersebut saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan
untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan
tersebut menurut Conny R. Semiawan (2005 : 99) adalah sebagai berikut.
A. Dasar pembenaran menuntut pengaturan
kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin.
Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman apriori yang juga
didasarkan atas hasil kerja empiris.
B. Semantik dan sistematis
masing-masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang didasarkan pada
penyelidikan (research) ilmiah yang keterhubungannya merupakan suatu kebulatan
melalui komparasi dan generalisasi secara teratur.
C. Sifat intersubjektif ilmu
atau pengetahuan tidak dirasakan atas intuisi dan sifat subjektif orang
seorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari
ilmu itu didalam setiap bagian dan didalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut,
sehingga tercapai intersubjektivitas.
Secara garis besar, terdapat dua
aliran pokok dalam dimensi Epistemologi. Kedua aliran tersebut adalah alirann
rasionalisme dan empirisme, dari kedua aliran ini kemudian lahirlah aliran isme
yang lainya, misalnya rasionalisme kritis (kritisime), fenomenalisme,
instuisionisme, positivisme, dan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran
yang pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide sebagai bagian
yang sangat menentukan hasil keputusan atau pemikiran. Hasil pemikiran filosof
pada jaman klasik hingga kini pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini,
rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak
pada dasar ontologis idealisme atau spiritualisme, dan dari indera lalu
melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologis materialisme.
Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori oleh Rene Decrates,
seorang yang berkebangsaan prancis yang dijuluki sebagai “bapak filsafat modern”.
Rasionalisme dikembangkan
berdasarkan “ide” dari Plato. Bagi Plato, alam ide adalah alam yang
sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah. Plato berpendapat bahwa
hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya
yang selalu berubah-ubah. Menurut Plato, ilmu pengetahuan yang bersumber dari
panca indera diragukan kebenarannya.
Sedangkan filsafat empiris berasal
dari filsafat yang dikembangkan oleh aristoteles, yang mengatakan bahwa
realitas yang sebenarnya adalah terletak pada benda-benda konkret, yang didapat
oleh indera,bukan pada ide sebagaimana yang disebutksn oleh Plato. Jadi,
menurut Aristoteles sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris.
Filsafat empirisme dikembangkan oleh
filosof-filosof inggris seperti F.Bacon, Thommas Hobbes, John Locke, George
Berkeley, dan David Hume. Menurut John Locke, ilmu pengetahuan adalah
pengalaman empiris. Bagi Locke, manusia dilahirkan dalam keadaan
bersih,bagaikan kertas putih yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, di
mana melalui kertas putih inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia
memandang akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut.
Istilah aksiologis berasal dari
perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos yang
berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’. Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yabg dalam filsafat
mengacu kepada permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praktis.
Aksiologis memuat pemikiran tentang
masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai
moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologis ini juga mengandung
pengertian lebih luas dari pada etika atau higher values of life (nilai-nilai
kehidupan yang bertaraf tinggi).
Filsafat ilmu juga menyibukan diri
dengan berbagai masalah yang datang dari konsep-konsep khusus dalam statistik,
pengukuran, teologi, misalnya penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari
tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-musabab, hubungan antara
ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan di mana satu ilmu berkurang untuk ilmu lain,
dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu per satu.
Dilihat dari jenisnya, paling tiddak
terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu ini,
yaitu meliputi etika dan estetika.
1. Etika
Etika disebut sebagai kajian tentang
hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Etika merupakan standar prinsip
atau standar prilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. (Conny
R. Semiawan).
Ditinjau secara filosofis, sangat
sukar mengatakan semua itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan
segala sesuatau boleh dikatakan mengenai hampir semua keberadaan di alam ini
adalah hasil kesepakatan, yang dipelopori oleh individu-individu atau
kelompok-kelompok yang dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang
kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan
bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan
progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk
arti, pertama, etika merupakan kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan
suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau
manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan
manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya. Sedangkan estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
2. Estetika
Estetika mempelajari tentang hakikat
keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji
tentang hekikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk
suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan
mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan
pembentukan mode-mode yang esteris dari suatu pengetahuan ilmiah tersebut.
A. Universal
Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang
harus dipenuhi oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku
umum, lintas ruang dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat
berarati hukum-huum fisika yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika
Serikat, baik sekarang maupu seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan,
misalnya kondisi-kondisi yang rekevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang
dibandingkan itu sama.
B. Dapat Dikomunikasikan (communicable)
Maksudnya, apabila bahsa tidak merupakan kendala,
pengetahuan itu bukan saja dimengerti sebatas artinya, tetapi juga maknanya.
Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan tingkat kepercayaan
cukup besar. Terpenuhinya dengan baik sifat intersubjektif suatu pengetahuan
sangat membantu menjadi communicable.
C. Progresif
Progresif dapat diartikan sebagai adanya kemajuan,
perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern
untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu
skeptis, menyeluruh (holistic, comprehensive). Mendasar (radical), kritis, dan
analitis yang menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah.
PENUTUP
Didalam filsafat ilmu, ada kajian
tentang filsafat ilmu, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Masing-masing dimensi memiliki pengertian yang berbeda. Bukan hanya pengertian,
masing-masing dimensi juga memiliki objek kajian, aliran, serta metode
pembahasan masing-masing.
Ontologi yang merupakan cabang teori
hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada, membahas tentang segala
sesuatu yang jelas adanya. Misalnya, ada individu, ada umum, ada terbatas, ada
tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika
dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada.
Epistemologi atau sering juga
disebut dengan teori pengetahuan, membahas dan menyelidiki asal-usul, susunan,
metode-metode, dan sah nya pengetahuan. Di dalamnya terdapat berbagai macam
metode, seperti metode induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan
dialektis. Kemudian ada aliran dalam epistemologi yaitu aliran rasionalisme dan
aliran empirisme yang keduanya memiliki ciri khas tersendiri yang saling
bertolak belakang.
Lalu yang terakhir ada dimensi
aksiologis yang membahas ‘teori tentang nilai’. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada pada permasalahan etika dan estetika. Objek yang dibahas
dalam aksiologi adalah tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari
tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika).
3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan
kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Umum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Edwards, Paul. 1972. The Encyclopedia of Philosophy.
New York: Macmillan Publishing.
Komara, Endang. 2011. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. Bandung: PT. Refika Aditama
Sudarto. 1996. Metodologi Penelitian Filsafat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Cet. II. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Susanto, Ahmad. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Bumi Aksara.